Mantari Ameh
Wednesday, March 18, 2020
It’s about the journey, not the destination.
Bungsu dari 4 bersaudara kelahiran Bukittinggi, Agustus 1934. Sosok ini menjadi saksi hidup betapa jaman berubah, berkembang, melaju dan meninggalkan. Dari masa sebelum negara ini merdeka, gejolak setelah merdeka dan ketika kemerdekaan dirayakan dalam rangkaian seremonial di sekolah-sekolah.
Meninggalkan kampung halamannya dengan menumpang bus seorang diri lepas menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat) untuk merantau ke Medan, mencari si sulung, di jaman telepon kabel adalah barang mewah nan langka dan telepon seluler bahkan belum menetas, apalagi gps dan share location.
Meniti karir dari tukang sapu halaman di kantor salah satu instansi berplat merah, Lembaga Tembakau. Dekat dengan rumah abangnya yang membuka warung, di daerah Air Bersih – Medan. Tempat berkumpulnya para tukang becak dayung kala itu. Berkat kerajinan dan ketekunan, diangkat menjadi honorer, dengan kemampuan tulisan tangan yang klasik serta keahlian menyusun secara rapi laporan keuangan dalam buku besar. Jaman seluruh pekerjaan dilakukan dengan jalan manual, di atas kertas. Hingga akhirnya berhasil menjadi PNS berkemampuan mengetik yang nyambi menjadi tukang becak dayung pada malam hari untuk menopang biaya hidup dan menabung demi meneruskan sekolah dan kehidupan.

Mengakhiri karir pada tahun 1991 setelah mengabdi selama kurang lebih 35 tahun dengan posisi terakhir sebagai Pj. Kasubbag Effisiensi Tata Laksana Bagian TU Dinas Perkebunan Prop Dati I Sumut berpangkat Penata Muda Tingkat I dan satu buah piagam Satyalancana Karya Satya 30 tahun yang terpajang gagah di dinding rumah, ditandatangani Presiden, bertanggal 9 Mei 1987.
Melanjutkan sekolah di Medan hingga tamat SMA. Tak banyak dokumentasi mengenai pendidikan formalnya, namun masalah kemampuan, tidak diragukan lagi, sudah terbukti. Mulai dari keahlian bertukang, bermain Saluang, negosiasi, hingga satu – dua patah kalimat everyday english bisa diucapkan dengan mulus tanpa kursus. Darah pembelajar dan penikmat bahasa ini menetes ke keturunannya. Dua dari tiga anaknya mengantongi gelar S2 dengan sokongan beasiswa dari institusi yang berbeda, sebagai abdi negara. Keduanya juga pernah mengecap 3 bulan pendidikan di Australia. Salah satunya bahkan memperoleh skor IELTS 7,5 di UQ – Brisbane, salah satu kampus yang masuk jajaran World’s Top 50 Universities.
Jiwa pengabdian juga mengalir deras ke keturunannya. Ketiga anaknya adalah pengabdi serius nan tulus. Yang dua terhadap Bangsa. Yang tertua, kepada orang tuanya.
Dengan tunggangan Honda Kijang berkelir merah, motor dinas kala itu, menyunting gadis Dangau Baru bermarga Jambak anak tukang kue tradisional di Binjai, dengan mekanisme perjodohan, tanpa pacaran. Langgeng hingga ajal menjemput sang pujaan hati di tahun 2016 pada usia 76 tahun, meninggalkan 2 anak Aparatur Sipil Negara dan si sulung yang setia menemaninya di usia senja.
Beliau pulalah yang menularkan hasrat ‘melalak’ ke penerusnya. Setiap pagi akhir pekan, anak-anaknya akan diajak untuk ‘Marathon’. Sebuah istilah yang beliau gunakan untuk kegiatan jalan pagi menyusuri rute yang tak pernah sama, kadang hingga stasiun kereta, sembari mengumpulkan asam jawa dari pohon yang berjejer megah di pinggir jalan kota. Ritual ini biasanya ditutup dengan kemewahan sajian pulut pisang goreng di dekat stasiun bus di Simpang Awas, Binjai.
Hingga kini, beliau adalah sosok aktif yang menjadi pelanggan setia angkutan kota dan Trans Mebidang. Pada sudut koran yang dibeli setiap hari, beliau akan menuliskan itinerary-nya, mulai dari infaq, beli koran, ongkos-ongkos dan pengeluaran sepanjang jalan. Ketelatenan yang tiada tara, luar biasa. Terhadap kegiatan yang sudah dilakoni berpuluh tahun, menapak tilas rute yang acap dilalui semasa aktif bekerja dulu : Olympia, Belawan, Lubuk Pakam, Kampung Baru.
Wednesday, March 18, 2020 at 4:56 AM
Life journey without bad record. Every single story is lesson. This special person helps me to set high standard for the man I got married with.