Kredit atau Sewa-Beli atau Beli-Cicil atau Leasing? Atau Menabung?

Wednesday, April 19, 2017

Untuk komoditi (Commodity: a marketable item produced to satisfy wants or needs that comprise goods and services) yang diproduksi tahun 2011 dan saya beli di tahun 2012 seharga Rp. 162.000.000,00 dengan jangka waktu membayar cicilan selama 5 tahun (60 bulan) pada salah satu perusahaan pembiayaan terbaik, terpercaya dan terbesar di Indonesia, total uang yang saya belanjakan secara fantastis adalah Rp. 242.930.000,00!

Awalnya saya tergelitik untuk menuliskan financial nightmare saya ini dengan harapan akan menjadi bahan pelajaran dan pertimbangan bagi siapapun yang membaca tulisan ini agar benar-benar berhati-hati dan selektif mengambil langkah finansial yang memiliki potensi untuk menggerogoti penghasilan selama bertahun-tahun ketika memutuskan untuk mengakuisisi suatu barang yang bukan modal dan memiliki tingkat kebutuhan yang tidak signifikan. Walaupun dalam hal ini beberapa komoditi yang sifatnya belanja modal dan memiliki tingkat kebutuhan vital seperti rumah sebagai tempat tinggal atau kendaraan sebagai sarana transportasi mungkin dapat diberikan dispensasi mengingat menabung dengan tingkat disiplin luar biasa untuk mengejar harga yang terus digenjot inflasi bisa jadi bukan alternatif yang menjadi pilihan utama, selain kebutuhan yang bercampur baur dengan keinginan untuk segera merasakan manfaat komoditi tersebut demi memperlancar operasional dan aktivitas serta meningkatkan kualitas hidup, juga tidak mudah mengumpulkan uang sekian banyak terutama bagi para pegawai/karyawan yang pola penghasilannya berupa fix income yang memiliki potensi membayar angsuran tepat waktu, apalagi ketika skemanya adalah potong gaji.

Kembali ke hitung-hitungan angka, dari total uang yang saya keluarkan (dengan didahului oleh Downpayment dan diikuti oleh berpuluh kali cicilan tentunya) terdapat selisih bin pembengkakan pembayaran dari nilai komoditi sebesar Rp. 80.930.000,00 selama lima tahun, yang berarti per-bulannya saya membayar kelebihan sebesar Rp. 1.348.833,00 selama 60 kali! Ya, walaupun dalam komponen tersebut terdapat bunga, asuransi dan biaya administrasi, tetap saja untuk ukuran kantong saya nominal sekian itu masuk kategori dana durhaka luar biasa mahal untuk dibayarkan secara rutin sebagai balas jasa atas benefit yang saya peroleh, yaitu keleluasaan untuk memanfaatkan komoditi yang saya beli di awal transaksi, sebelum pembayaran lunas.

Kalau berandai-andai dan menggunakan skema menabung yang ideal untuk mendapatkan komoditi yang ternyata setelah saya cari tahu harga 5 tahun lalu dengan harga sekarang tidak jauh berbeda, maka saya hanya perlu menerapkan disiplin militer dalam menabung (tanpa Uang Muka) sebesar Rp. 2.700.000,00 selama 60 bulan (bandingkan dengan Downpayment sebesar Rp. 30.950.000,00 yang dibayarkan diawal dan cicilan sebesar Rp. 3.533.000,00 sebanyak 60 kali) dengan ketentuan bahwa selama masa menabung, saya belum bisa memanfaatkan komoditi tersebut dan hak milik akan saya dapatkan di akhir masa menabung karena pembelian akan dilakukan secara tunai-keras plus komoditi yang saya dapatkan adalah model terbaru, bukan keluaran lima tahun lalu.

Bagian yang menimbulkan rasa miris lagi, total kelebihan uang yang saya bayarkan sebagai ganti manfaat yang saya terima di awal terhadap komoditi yang saya beli dengan mencicil tersebut adalah angka yang tidak jauh berbeda dengan harga komoditi tersebut pada saat cicilannya lunas. Dengan demikian, angka Rp. 162.000.000,00 sebagai harga awal komoditi tersebut 5 tahun yang lalu dapat dikatakan telah tergerus habis oleh penurunan nilai produk, digantikan oleh total selisih kelebihan pembayaran yang dilakukan selama lima tahun. Kisahnya mungkin akan sedikit berbeda ketika yang dibeli adalah komoditi strategis yang memiliki nilai aset yang terus menanjak seperti lahan atau properti.

Lalu saya coba menelusuri, skema model apa yang diterapkan kepada saya ketika melakukan kontrak dengan perusahaan pembiayaan ini. Pada lembar penjelasan penting bagi konsumen/nasabah saya menemukan kata-kata Perjanjian Pembiayaan Bersama dengan Hak Milik Secara Fiducia yang berbau kredit. Lalu juga ada kata-kata Finance sebagai kode perusahaan pembiayaan yang dapat berlaku sebagai penerbit produk pembiayaan berupa leasing serta skema kepemilikan yang berbau Sewa-Beli dan angsuran yang mengindikasikan metode Beli-Cicil. Dari kesemua ciri-ciri ini saya sepertinya menemukan sistem hybrid yang mengkombinasikan banyak metode yang hampir keseluruhannya menguntungkan sang perusahaan dan memberikan saya motivasi untuk menuliskan pengalaman finansial yang hampir dapat dikatakan ‘sial’ ini.

Dari hasil baca sana-sini, saya menemukan karakteristik dari masing-masing metode:
Leasing: Ada opsi untuk membeli barang modal yang bukan berasal dari lessor (pemberi sewa), melainkan dari pihak ketiga atau lessee (penyewa) di akhir masa sewa atau meneruskan penyewaan (Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan).
Sewa-Beli (bukan kegiatan lembaga pembiayaan): Hak milik atas barang secara otomatis baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual (Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 21/M-DAG/PER/10/2015 Tahun 2005 tentang Pencabutan Beberapa Perizinan dan Pendaftaran di Bidang Perdagangan, namun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Beli-Cicil (Jual Beli dengan angsuran): Hak atas barang sudah beralih dari penjual kepada pembeli setelah transaksi terjadi walaupun harga belum seluruhnya dibayar.
Angsur: menyerahkan sedikit demi sedikit, tidak sekaligus.
Cicil: membayar dan sebagainya sedikit demi sedikit.

Berdasarkan beberapa definisi dan karakteristik diatas, saya menemukan beberapa kejanggalan (menurut pandangan saya). Jika ini adalah sewa-beli, lalu kenapa saya dikenakan uang muka? belum lagi kalau berbicara pelunasan, tidak ada kata ampun. Melibatkan diri dengan perusahaan pembiayaan model begini adalah kontrak mati, jika pelunasan ingin dilakukan di awal (sebelum jatuh tempo cicilan) maka total nominal yang harus dibayarkan adalah setara dengan total nilai keseluruhan cicilan hingga lunas. Tidak ada manfaat finansial melakukan pelunasan lebih awal karena yang dibayarkan adalah pokok plus bunga hingga lunas, bukan outstanding pinjaman dengan bunga berjalan ditambah pinalti seperti yang biasa diterapkan pada dunia perbankan. Gampangnya, yang dibayar adalah akumulasi seluruh angsuran hingga lunas sesuai dengan waktu jatuh tempo di kontrak. Dengan kata lain, lunas sekarang atau nanti, total yang dibayar sama!.

Jika gagal bayar cicilan ditengah jalan? maka seluruh jerih payah dan usaha yang dikerahkan untuk membayar angsuran dianggap sia-sia. Komoditi akan ‘ditarik’ dan baru akan dilepaskan kembali ketika cicilan plus denda sudah dibayarkan dan angsuran berjalan normal. Bukankah akan lebih ‘manusiawi’ lagi jika terjadi kemacetan pembayaran angsuran, komoditi yang dipertaruhkan dijual/diuangkan untuk melunasi sisa cicilan? bisa jadi ini dilakukan, namun kisah yang beredar lebih sering hanya berhenti pada penarikan/pengambilan paksa komoditi dan ‘hangus’nya cicilan plus uang muka yang sudah dibayarkan. Entahlah, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut mengingat saya juga beberapa kali mendengar kabar pelelangan secara massal (sekaligus) komoditi yang ditarik oleh perusahaan pembiayaan.

Namun biasanya konsumen/nasabah akan putus hubungan dengan komoditi yang telah ditarik kembali oleh perusahaan pembiayaan hingga cicilan berjalan normal atau sebelum pelelangan dilakukan. Tak banyak beredar kabar tentang apa yang terjadi ketika pelelangan sudah dilakukan. Apakah nasabah/konsumen masih akan menerima manfaat atau pengembalian dana dari nilai penjualan komoditi yang sudah dicicilnya selama ini? walaupun terdengar hampir tidak mungkin terjadi berhubung keseluruhan hasil penjualan komoditi kemungkinan besar dapat dipastikan akan digunakan untuk menutupi besar cicilan plus bunga ditambah biaya asuransi dan administrasi hingga lunas dan sangat mungkin tidak akan bersisa. Meninggalkan kerugian finansial yang sebesar-besarnya kepada si nasabah/konsumen.

Kalau komoditi dicuri/hilang dalam masa cicilan? tenang, ada asuransi (paling tidak seharusnya begitu). Yang terjadi (pengalaman pribadi teman) adalah asuransi akan mengganti komoditi tersebut dengan perhitungan harga pasar berupa uang, yang biasanya akan kembali dituangkan menjadi Uang Muka, dan ritual membayar angsuran pun akan kembali berlangsung (lebih lama dari yang seharusnya and of course more profit for them!). Nah kalau hilang dan ditemukan? masih ada pihak ketiga (you know who I mean) yang harus ditembus secara hukum dan birokrasi. Tidak usah terlalu berharap pada bantuan dari Perusahaan Pembiayaan. Malah ada yang bilang mending hilang sekalian daripada mesti ngurus sana-sini dengan hasil yang gak jelas. Jelas sih, jelas ribetnya. Yang gak jelas adalah apakah komoditi akan berhasil dikembalikan secara utuh atau sudah jadi korban ‘kokangan’ sementara menunggu prosesnya berlangsung. Kisahnya akan sangat berbeda sekali jika komoditinya tidak diasuransikan tentunya. You’re on your own, buddy!

Lalu, uniknya lagi tentang skema bercirikan konsep sewa dengan kontrak tertulis ini adalah resiko kepemilikan yang ditanggung di awal (perawatan, kerusakan fisik, dan pajak), walaupun perusahaan pembiayaan mewajibkan adanya asuransi dalam kontrak pembiayaan. Tetap saja seolah-olah komoditi yang dicicil sudah menjadi tanggungjawab nasabah/konsumen sepenuhnya. Jika ini adalah sewa-beli dengan kontrak tertulis murni, maka kepemilikan komoditi yang disewa baru akan berpindah ke tangan penyewa ketika cicilan sudah lunas. Tapi kejadian di lapangan, kepemilikan barang sudah atas nama si penyewa (lessee) dari awal, hanya bukti kepemilikan yang dipegang oleh pemberi sewa (lessor) tentu saja dengan Jaminan Fiducia.

Apapun yang terjadi, perusahaan pembiayaan yang menjamur demi melayani hasrat memiliki komoditi bagi rakyat yang penghasilannya pas-pasan ini telah menjadi fenomena finansial yang secara semu menguntungkan konsumen/nasabahnya dengan kemudahan memiliki komoditi dan secara realistis berjangka waktu memindahkan jumlah uang yang signifikan (dari sudut pandang konsumen/nasabah) ke pos profit perusahaan pembiayaan. Seolah-olah barang/komoditi telah dimiliki sejak kontrak dilakukan. Beberapa pihak bahkan menyandarkan pemikirannya pada cicilan yang masih lebih untung dari sewa murni sehingga jika terjadi gagal bayar dan macet ditengah jalan, mereka akan melapangkan dada dan menganggap cicilan dan uang muka yang telah dibayarkan akan hangus sebagai sewa komoditi yang sedikit lebih mahal dari sewa murni. Jika sukses membayar angsuran hingga lunas, maka senyum besar akan merekah dan komoditi berhasil dimiliki tanpa menyadari betapa membengkaknya total biaya yang dikeluarkan.

Akhirnya, jika ingin memiliki suatu komoditi, jalan terbaik adalah dengan membeli secara tunai jika mampu (biasanya bisa lebih murah dan semoga memperoleh diskon hard-cash). Kalau belum mampu dan sifat komoditinya tidak memiliki aspek krusial yang menyebabkan harus dimiliki sekarang juga, bersabarlah dalam menabung. Tidak mudah menjadi konsumen yang kurang mendapat perlindungan dan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bentengilah diri dengan disiplin, kemauan yang keras dan pengetahuan. Semoga kita semua segera terlepas dari jeratan hutang dan beban cicilan maupun angsuran.

Paragraf terakhir akan saya dedikasikan untuk asuransi. Jangan lupa asuransi, untuk komoditi vital yang memiliki peran sentral dalam kehidupan. Ya, saya paham bahwa premi asuransi masih belum dianggap terjangkau bagi beberapa pihak dan tidak mudah memang menyaksikan agen-agen asuransi menuai bonus megah dan jalan-jalan ke luar negeri lalu mem-posting kebahagiaan dan pencapaiannya di sosial media (apalagi mengingat berapa besar porsi premi yang mengalir ke kantong mereka) hanya karena mampu membujuk dan mengumpulkan nasabah yang masih harus menyetorkan uangnya sebagai premi selama bertahun-tahun, berpuluh tahun bahkan. Namun hal ini masih lebih baik daripada menanggung resiko sendiri yang belum tentu mampu ditanggung.

That’s just part of the game, if you don’t play along with it, you’ll lose anyway.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: