Amazing Aceh, Beautiful Banda Beaches.

Thursday, August 30, 2018

Perjalanan akan membuatmu tidak dapat berkata-kata, lalu mengubahmu menjadi pencerita“. (Ibnu Batutta – musafir abad ke-14).

Roadtrip kali ini, seperti biasa, lepas lebaran. Memanfaatkan cuti, cerita lagi.

Tapi, ada yang kurang biasa, yaitu ‘hunch‘ untuk tidak merencanakan perjalanan sebisa mungkin. No itinerary. Normalnya, jauh-jauh hari saya akan melakukan pemesanan kamar hotel, mereka-reka rute, menebak-nebak total expense, spot yang akan disambangi, blablabala… Walaupun pengalaman menunjukkan, dengan perencanaan sedetail apapun, berkali-kali budget tetap saja jebol. Saya menolak keras ketika kesenangan berpetualang dikendalikan oleh faktor finansial, berujung pada tagihan membengkak dari bang master melalui billing statement. Bertambah rodan rasanya kantong. Fiuh! We’ll play it by ear this time.

Lanjut, kemungkinan besar faktor pemicu munculnya firasat ini adalah adanya rombongan tambahan, yang keberadaannya penting, dan keinginannya juga tidak kalah penting. Maka kami yang menyandang status orang lokal berformasi paling lengkap dengan kategori sudah pernah ini akan dengan mudah menyesuaikan jadwal dan lain-lainnya. Perjalanan rentan perubahan. Okay. Namun, ternyata satu-persatu Blessing in disguise (BID) akan membuka tabir. One bless after another, sabar yah. Lanjut saja membaca.

Setelah di penghujung 2014 kami pernah menginap-lintas di Banda Aceh dalam perjalanan ke Sabang, saya pribadi menyimpan ‘dendam’ untuk kembali dan mengeksplorasi tempat yang menakjubkan ini. Dan ini kisahnya yang coba diketik semi rinci.

Berhubung cuti tahunan tidak diperkenankan dirangkai dengan cuti bersama setelah lebaran, maka saya mengajukan untuk cuti beberapa hari setelah cuti bersama lebaran selesai. Habis cuti bersama lebaran, kerja, cuti lagi. Tidak ada ketentuan/himbauan/edaran yang dilanggar. Beres kan? Belum. Dengan masa mulai cuti hari Senin, harusnya roadtrip bisa dimulai Jum’at malam atau Sabtu pagi. Tapi di hari Rabu-nya ada pemilihan yang terhormat Gubernur Provinsi, dan rencana kami untuk mulai secepatnya harus disusun ulang, menyesuaikan dengan jadwal pilgub. Sebagai warga provinsi yang baik dan taat pada KPU, kami menunaikan hak kami untuk memilih sepagi mungkin. Lepas nyoblos, baru nyoss. Dan strategi manis ini ternyata juga tidak menyebabkan rombongan tambahan bisa berangkat berbarengan dengan kami. Karena satu dan lain hal. Ya sudah. Kami pun berangkat lebih dulu. Kontingen pertama, sekeluarga, dengan mobil yang lama, Daihatsu Xenia M 1.0 Sporty. Yeah!

BID-1 : Udang Gadang di Aceh Tamiang.

Pitstop pertama, dalam perjalanan menuju Banda Aceh, kami singgah di Aceh Tamiang. Dengan maksud bersilaturrahim, mengunjungi kawan karib sewaktu menyelesaikan beasiswa S2 Kemenkominfo di Magister FISIP USU, tidak terlalu dulu, namun sedihnya saya wisuda lebih dulu, ia harus bersedia lebih lama menunggu, sudah hampir setahun berlalu. Sudah, jangan begitu, nanti ini tulisan jadi bertabur ‘U’…

Kurang dari 4 jam perjalanan, kami pun tiba di Kecamatan Karang Baru, lokasi yang dituju. Atmosfir jalan-jalan yang menyenangkan sudah mulai terasa. Pohon-pohon hijau, udara segar, pemandangan teduh yang tidak biasa. Menyegarkan, menenteramkan. Sang tuan rumah rupanya benar-benar paham bagaimana caranya menjamu tamu. Rombongan kami yang memang tiba hampir bersamaan dengan sampainya jam makan siang telah disambut hangat dengan berbagai jamuan rumahan berkelas atas. Yang dengannya saya akan forever grateful. Terutama berkat  pengalaman mengkonsumsi udang yang ukurannya tidak lazim. Sebenarnya saya punya dokumentasi ukuran udangnya. Namun, saya akan membiarkan imajinasi anda menjadi batas ukuran udang yang saya maksudkan.

BID-2 : Kopi di Idi.

Pemberhentian kedua, ditemani kawan yang istananya kami singgahi di Aceh Tamiang, adalah Kabupaten Idi Rayeuk. Lokasi tepatnya, within walking distance dari Masjid Agung Darus Shalihin. Masjid megah yang kabarnya mirip Taj Mahal di India.

Masjid Agung Darus Shalihin – Idi Rayeuk, AcehTimur.

Disini, kami mengunjungi kawan satu almamater di di Magister FISIP USU yang sedang mengandung anak pertama. Wanita multitalenta yang berprofesi sebagai aparatur negara pemilik lembaga pendidikan swasta dan juga beberapa kegiatan jual-menjual lainnya. Kopi salah satunya. Sepanjang menempuh pendidikan Magister, for some reasons, kami bertiga adalah trio kwek-kweknya kelas. Dugaan sementara faktor pemersatu adalah kesamaan bakat dan minat yang tidak bisa saya tuliskan disini.

Disini juga, kami putuskan untuk menunggu mobil rombongan tambahan yang tadinya direncanakan akan berangkat berbarengan. Dan mereka tiba kelewat sore hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencari penginapan di Lhokseumawe, kota kelahiran istri saya tercinta. Namun takdir berkata lain, akhirnya kami malah couchsurfing disini, di Idi, di rumah istimewa ini. Rombongan 3 keluarga, 2 mobil yang mendapat kehormatan salat Subuh di Masjid Agung Darus Shalihin sebelum akhirnya berangkat melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh esok harinya.

Terima kasih tak terhingga kepada para tuan rumah yang bersedia direpotkan secara mendadak, mengingat di dalam rombongan kami, terdapat dari 4 orang anak-anak, yang mana 3 diantaranya adalah bocah laki-laki yang menganggap setiap lahan kosong sesempit apapun, adalah lapangan sepak bola.

Sudah direncanakan sebelumnya, bahwa kami akan singgah di Lhokseumawe, bahkan menginap untuk kemudian ternyata tidak jadi. Namun melewati kota ini adalah suatu kesenangan tersendiri. Keluarga istri saya sempat menghuni Kota ini semenjak lahir hingga akhirnya pindah dan tak pernah kembali kecuali untuk berkunjung, bukan menetap. Maka Lhokseumawe, yang tercetak sebagai tempat lahir istri saya di kartu identitasnya adalah tempat yang mengandung nilai sentimental yang selalu layak di napaktilasi.

Setelah sarapan nan menyenangkan di salah satu warung tradisional, di Kota ini pulalah kami beruntung menemukan buah jamblang, tanaman khas yang katanya hanya akan berbuah pada musimnya. Tak heran pada 2014 ketika kami melintas, tak satu pun penjual buah ini kami temui di jalan. Setelah beberapa kali berpapasan dengan penjual yang meletakkan dagangannya pada kotak kayu di belakang sepeda motornya. Akhirnya kami memutuskan memberhentikan salah satu penjual di pinggir jalan raya. Menepi di tempat sepi. Sesi tanya jawab singkatnya kira-kira berlangsung begini :

Saya : “Pak, ini buah apa?”

Penjual : “!@#$%^^” (bagi saya terdengar seperti kata ‘jemblang’ yang diucapkan dengan aksen Aceh yang kental dan kecepatan tinggi).

Saya : “Buah apa pak?” (pengucapannya terdengar saru, saya perlu konfirmasi untuk memastikan deretan huruf dari bunyi ‘jemblang’ yang dikeluarkan si bapak penjual).

Penjual : “!@#$%^^” (masih sama)

Saya : “Apa pak?”

Penjual : “!@#$%^^” (beliau mengulangi bunyi yang persis sama)

Saya : “Apa?”

Penjual : “Anggur Aceh.”

Sudah. Terselesaikanlah misteri pengucapan si bapak penjual yang menyebabkan saya harus melakukan konfirmasi 3 kali sebelum akhirnya si bapak secara brilian memutuskan menggunakan sinonim kata yang dapat saya mengerti maknanya. Sembari berpromosi akan khasiat buah jamblang yang katanya memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Informasi tambahan yang saya pribadi ragukan kesahihannya adalah ketika si bapak berujar, “buah ini juga bisa bikin mengecilkan p*yudara.”

Saya : “Haa? Bukannya malah biasanya memontokkan? nanti bapak salah dengar?”

Penjual : “Iya, katanya begitu. Saya juga tidak terlalu percaya, tapi katanya gitu.”

Sudahlah. Saya pikir mengingat kemungkinan background si bapak, bisa jadi berita hoax pun akan terdengar nyata. Tidak ada gunanya mendebat secara mendalam, informasi yang diterima selintas lalu. Saya lanjutkan membeli 3 macam varian buah jamblang yang ditawarkan : manis, pedas dan original. Perjalanan pun berlanjut menuju Banda Aceh dengan buah jamblang yang menemani.

Buah Jamblang

Pohon Jamblang.

BID-3 : Best accomodation + free expert-like local guide.

Hingga hampir tiba di Banda Aceh sekalipun, kami masih belum melakukan reservasi kamar hotel untuk rombongan. Hal ini bisa jadi dilatarbelakangi mudahnya memperoleh akomodasi saat ini. Bermacam aplikasi di smartphone hingga worst case scenario berupa menjadi tamu walk in ke penginapan yang dilalui, serta beragam rencana dalam kepala yang meyakinkan diri untuk tidak panik ketika belum memiliki akomodasi di tempat yang dituju.

Hingga tiba berita positif bahwa temannya istri saya yang suaminya bertugas di Banda Aceh bersedia menampung rombongan kami di rumah dinasnya. Sebenarnya kabar ini telah santer terdengar sejak hari pertama kami memiliki rencana untuk melakukan roadtrip ke Banda Aceh, namun tekanan rasa segan menyebabkan tawaran ini didiamkan secara sopan.

Dan walah! ternyata kenyataan melebihi ekspektasi. Bukan hanya mendapat tumpangan akomodasi bagus nan tidak berbayar, sebagaimana adat ketimuran dalam hal melayani tamu, mereka adalah jagoannya. Dan bukan itu saja, sang suami bahkan ternyata memiliki tingkat kepakaran yang di atas rata-rata ketika menyangkut dunia pariwisata dan dengan senang hati menemani rombongan kami menjelajahi bumi Banda Aceh nan menakjubkan ini.

Joel’s Bungalows – Lampuuk Beach

Begitu tiba di Banda Aceh dan meletakkan barang-barang di akomodasi yang luar biasa ini, dengan rasa lelah perjalanan jauh yang masih belum menguap, ditemani tuan rumah, dengan kecepatan tinggi lantaran mengejar tenggelamnya matahari, kami langsung menuju Joel’s Bungalows di Lampuuk, tidak jauh dari pusat kota. Di kalangan turis mancanegara, tempat ini cukup popular dan memperoleh ulasan yang rata-rata positif. Dan mereka tidak salah. Silahkan dinilai sendiri :

Debur ombak, silahkan disimak.

Best spot to enjoy the sunset.

Ditemani air kelapa, alamak sedapnya.

Masjid Rahmatullah.

Puas menatap tenggelamnya matahari di bibir pantai, kami melanjutkan salat Maghrib di Masjid Rahmatullah. Bangunan yang berada dekat dengan bibir pantai ini menjadi saksi sejarah dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh kala itu.

Masjid Rahmatullah yang masih berdiri tegak diantara reruntuhan bangunan sesaat setelah Tsunami Aceh (4/1/2005) © Jacob J. Kirk /EPA | sumber : beritagar

Masjid Rahmatullah tidak lama setelah tsunami. Photo courtesy : https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/09/23/apa-kabar-masjid-rahmatullah-aceh

Sekarang, setelah mendapat bantuan renovasi dari Turkish Red Crescent yang logonya terpampang di bagian atas bangunan, masjid ini menjadi destinasi wisata religi tersendiri, khususnya bagi wisatawan muslim. Sebagian sisi masjid yang rusak dihantam gelombang tsunami dikonservasi sebagai monumen pengingat terjadinya tsunami, lengkap dengan batu karang, koral dan pasir serta puing-puingnya.

Bagian Masjid Rahmatullah yang diabadikan sebagai monumen pengingat tsunami.

Sisa Karang, Koral dan Pasir yang dibawa tsunami hingga ke bagian dalam Masjid.

Bagi wisatawan non-muslim, terdapat galeri di kompleks masjid, terpisah namun tidak jauh dari masjid. Pada galeri ini dapat ditemui dokumentasi berupa foto-foto dan video yang menceritakan betapa mencekamnya situasi kala itu. Kalau anda beruntung, akan ada pengurus masjid yang menemani sekaligus memberi narasi first hand dari saksi-korban yang selamat dari terpaan tsunami.

Dan hari itu pun ditutup dengan syahdu. Lanjut esok hari, petualangan baru lagi.

Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo.

Pagi hari, bahkan sebelum mandi, kami menuju ke Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo. Pelabuhan ini terkenal akan ikan segarnya, untuk merasakan sensasi petualangan menyaksikan ikan segar yang sebagian besar sudah mati.

Pelabuhan Perikanan Lampulo

Namun ada rasa prihatin yang menyisip ketika melihat betapa beragamnya jenis ikan yang ditangkap disini. Saya yang pemakan ikan sejati saja merasa miris menyaksikan beberapa jenis ikan yang sepertinya lebih layak berada di laut dalam keadaan hidup daripada berakhir sebagai sajian di piring makan. Berikut beberapa dokumentasi yang sempat saya kumpulkan.

Big Beautiful Fishes.

Colorful Fishes.

Untuk beberapa saat, saya kehilangan selera mengkonsumsi ikan selain dencis dan ikan mujair.

Situs Tsunami Kapal di Atas Rumah.

Puas mengitari kawasan Pelabuhan Perikanan Lampulo, rombongan kami melanjutkan perjalanan ke Kawasan Situs Tsunami Kapal di Atas Rumah, masih di Lampulo. Disini kami bersua dengan seorang nenek yang sangat mahir bercerita. Beliau mengisahkan perjuangannya mengalami tsunami hingga akhirnya bisa selamat, sehat wal ‘afiat hingga kini. Beliau adalah Nek Bundiah, dikenal juga dengan sebutan Nek/Wak Kolak sebagai manifestasi pekerjaannya sehari-hari, berjualan kolak di seputaran pelabuhan.

“Kapal Di Atas Rumah”, Kapal Penyelamat 59 Orang.

Nek/Wak Kolak sedang asyik menceritakan kisahnya kepada pengunjung.

Selain detail kejadian yang dikisahkan secara apik oleh Nek Kolak, terselip cerita tentang adanya satu individu yang menurut Nek Kolak adalah Kapten Kapal yang sedang tidur yang tidak menyadari bahwa kapalnya telah terseret ke atap rumah penduduk hingga akhirnya penduduk beramai-ramai menyelamatkan diri ke dalam lambung kapal. Juga tentang adanya buaya besar yang ikut terseret ke bagian bawah kapal. Buaya tersebut langsung melarikan diri ketika air tsunami telah surut.

Jembatan Ulee Lheu

Jembatan ini bisa sangat ramai di akhir pekan oleh penduduk lokal yang ingin menikmati indahnya pemandangan laut lepas dan sejuknya tiupan angin yang lembut membelai kulit, memanjakan mata. Pemandangan dan debur ombak dalam jangkauan yang sangat dekat, bahkan bisa menerpa kendaraan/orang yang melintas sepanjang perjalanan menuju tempat ini. Sensasi menyenangkan tersendiri. Di bagian bawah jembatan dapat ditemui para pemancing ikan yang asyik dengan kegiatannya mendulang ikan-ikan dari laut, sebagian besar abai dengan kehadiran turis lokal seperti kami ini. Di airnya yang jernih gerombolan ikan berenang kesana-kemari, menambah rasa takjub akan dahsyatnya ekosistem di kawasan ini. Bahkan di salah satu tiang penyangga jembatan saya melihat beberapa ekor binatang menyerupai musang yang tidak saya ketahui jenisnya. Luar biasa menyenangkan-menenangkan. Saya bisa menghabiskan waktu berlama-lama mensyukuri keindahan bak lukisan ini. Tak lama ferry penyeberangan pun melintas, lalu perahu nelayan tradisional, bergantian, begitu seterusnya dalam rentang yang jarang. Tak mengusik kemegahan laut lepas nan tenang.

Sajian yang memanjakan mata.

Para pemancing.

Ferry penyeberangan yang sedang melintas.

Bergeser sedikit melalui rute yang kurang lazim, terdapat salah satu spot yang bisa dimanfaatkan untuk menyaksikan ferry penyeberangan yang merapat, menurunkan penumpang dan barang, dari sisi yang tidak banyak turis ketahui, sisi tersendiri.

Kapal Motor Penumpang (KMP) Tanjung Burang sedang menurunkan penumpang dan barang di Pelabuhan Ulee Lheue.

Pantai Ulee Lheue.

Beralih ke bagian depan Pelabuhan, tepat di gerbang masuk pelabuhan penyeberangan, satu lagi spot dengan tulisan besar ‘pantai ULEE LHEUE’. Bagi orang/kendaraan yang hendak menyeberang ke Balohan – Pulau Weh, akan menemukan tulisan ini di bagian kiri, di tepi laut.

Pantai Ulee Lheue.

Masjid Raya Baiturrahman.

Lagi-lagi disebut ‘mirip’ Taj Mahal di India. Landmark Kota Banda Aceh ini menjadi magnet bagi wisatawan muslim se-Nusantara, bahkan mungkin mancanegara. Terlebih ketika pada tahun 2017 silam payung elektrik yang mirip dengan yang terdapat di Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi, terkembang pula disini. Kuat dugaan saya bahwa The Saudi Charity Campaign yang menjadi donatur rehabilitasi masjid ini menjadi pihak yang patut menerima ucapan terima kasih. Meskipun tak lama terdengar kabar sobeknya salah satu payung tersebab cuaca buruk. Semoga segera diperbaiki. Masjid yang memiliki parkir bawah tanah dan eskalator (semoga/harusnya waterproof, sebab jamaah akan melalui eskalator ini dalam keadaan kaki basah setelah berwudhu) ini menjadi tempat kami menunaikan Salat Jum’at.

Jamaah Salat Jum’at.

Bendera negara yang gagah berkibar, berlatar payung elektrik.

Tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, ada pula ‘Sin Bun Sibreh’. Toko unik yang kelihatan bersejarah yang juga memajang tulisan plank nama dalam aksara arab dan pernah terbakar beberapa kali ini menjual beberapa benda, yang sebagiannya berdebu. Namun sebagian lainnya, menurut saya masuk kategori ‘buah tangan’. Layak dijadikan oleh-oleh. Termasuk bumbu rujak yang bahkan teman saya yang orang Aceh tulen menitip untuk dibelikan. You should try-lah.

Sin Bun Sibreh.

Musium Tsunami

Landmark kota yang satu ini memang fenomenal. Sudah pernah dilewati, namun tak singgah. Kali ini kami punya waktu dan kesempatan untuk masuk, mengagumi karya Kang Emil nan spesial ini. Namun, masih di gerbang utama, menyeruak suasana tidak menyenangkan. Mulai dari pengaturan parkir kendaraan bermotor hingga perilaku pengunjung yang cenderung destruktif. Saya bahkan sempat menegur salah satu pengunjung yang masuk ke dalam area pajangan berupa puing helikopter polisi yang telah diberi pembatas untuk pengunjung, menduduki puing helikopter yang sudah ringkih demi kesempatan untuk berfoto sedekat mungkin, dengan kemungkinan melakukan perusakan, bahkan peniruan oleh pengunjung berikutnya.

Puing.

Di bagian dalam salah satu area yang disebut Space of Sorrow (Sumur doa), beberapa nama korban yang dapat dijangkau tangan, terlihat lepas, bengkok, penyok, beberapa malah kondisinya mengenaskan. Mungkin ulah tangan-tangan jahil. Sedihnya, sepertinya ini ciri khas turis lokal (berdasarkan pengalaman pribadi, saya memang lebih banyak melihat turis lokal dengan perilaku merusak, daripada turis non lokal yang memang secara jumlah juga tidak banyak). Merusak tourism spot dengan tingkat kesadaran mirip kucing yang sedang menandai wilayah kekuasaannya. Belum lagi bekas telapak tangan dan kaki yang mendarat sembarangan, sisa makanan, tumpahan minuman. Saya kehilangan fokus untuk menikmati bangunan luar biasa ini. Secara keseluruhan, dapat dilihat betapa megahnya desain bangunan ini, dan betapa tidak terpuji perilaku pengunjungnya yang berjiwa vandal. Sisi sentimentalnya, pada beberapa kesempatan saya menyaksikan sejumlah pengunjung yang berurai air mata, atau bahkan hingga jatuh terduduk, terisak tangis. Mungkin terpicu trauma atau kesedihan masa terjadinya Tsunami. Dapat dipahami betapa beratnya kembali mengulang tragedi yang telah dilalui, bukan jenis nostalgia yang berbunga-bunga. Salut untuk kemampuan kang Emil menghadirkan suasana napak tilas yang emosional, penuh dengan perenungan dan kerinduan yang mendalam pada anggota keluarga, tetangga, kampung yang tersapu. Rasa kehilangan yang tidak akan mudah pudar.

Puncak Geurute

Direkomendasikan oleh teman saya yang rumahnya kami singgahi di Aceh Tamiang, bahwa kalau ada kesempatan, tempat ini adalah spot yang sedap untuk menatap. Memandang luasnya lautan dan mensyukuri segala karunia yang telah didapatkan selama ini serta merasakan betapa kecil dan tidak signifikan-nya diri ketika berhadapan dengan landscape semegah ini.

Puncak Geurute.

Pegunungan yang menjulang tinggi di sebelah kiri, laut dan pantai yang anggun di sisi kanan. Pada beberapa bagian, ruas jalan yang tersedia cukup sempit hingga manuver seperti U Turn akan sulit dilakukan, walaupun pada beberapa sisi perlintasan tetap memungkinkan untuk memarkirkan kendaraan dan bersantai di warung-warung kayu pinggir tebing. Mirip dengan kawasan wisata di dataran tinggi berudara segar semisal Brastagi atau Danau Toba, di bibir jurang banyak tersedia warung-warung kayu dengan hidangan standar berupa mie instan atau minuman dalam bentuk sachet serta teh atau kopi kampung. Sempat terlintas dalam pikiran bahwa warung-warung kayu yang langsung menempel di pinggir jurang ini tidak kalah menyeramkan dengan Glass Walkway di gunung Tianmen, Cina. Bedanya, mereka punya kelihatannya dibangun dengan perhitungan saksama (ala Cina tentu saja), menggunakan teknologi konstruksi yang tidak main-main (sepertinya). Nah, warung-warung kayu di puncak Geurutee ini dibangun oleh tukang yang background-nya tidak jarang adalah putus sekolah, bahkan mungkin mendapat ilmu pertukangan dengan cara otodidak. Seringkali melakukan perhitungan konstruksi sederhana hanya dalam benak, dialiri asap rokok dan didampingi perkakas seadanya. Belum lagi membahas kualitas konstruksi dan bahan serta material yang digunakan. Namun begitu, lihatlah. Kami sudah berdiri, duduk, berfoto, bahkan anak-anak berloncatan di bilah kayu yang disusun sebagai lantainya itu.

Indahnya Pemandangan dari Puncak.

Tidak hanya sampai disitu. Meskipun hari sudah beranjak senja, saya menyempatkan diri untuk mendaki hingga ke titik paling atas (menurut saya). Menapaki anak-anak tangga yang sebagian berhamburan, pecah berserakan. Nampaknya jalan ini sengaja dibangun untuk memudahkan pendakian, namun sayang kondisinya nyaris mengenaskan. Bahkan kamar mandi (kecil) yang disediakan sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Terabaikan, tidak terawat. Di tengah perjalanan saya bertemu grup Nasyid yang sedang melakukan shooting video amatir marhaban. Saling bertukar senyum, saya pun kembali turun.

Senja.

Sebenarnya jalan menuju ke Puncak Geurute ini juga adalah kenikmatan tersendiri. Hamparan sawah, gunung dan hutan dengan vegetasi yang lebat, bahkan jika anda beruntung anda dapat bertemu satwa sejenis babi hutan yang menyeberang jalan dan monyet-monyet kecil nan menggemaskan. Selain juga lembu-lembu khas Aceh yang tak jarang berada di jalan, serta beberapa satwa endemik yang benar-benar eksotis bagi saya.

Ayam Pramugari

Selain memanjakan mata dengan pemandangan laut dan pantainya yang spektakuler, Banda Aceh juga menyimpan gastronomic potential yang perlu diperhitungkan dengan cermat. Tak perlu membahas kopi, yang reputasinya sudah kemana-mana. Ambil sampel Kopi Rebbe yang bikin sakau, dan masih banyak lagi tempat ngopi yang berserakan layaknya puing bangunan di construction site.  Kami cukup beruntung menemukan tempat-tempat makan iconic semisal RM. Minang Saiyo di dekat Masjid Baiturrahman sebagai pengobat rindu lidah akan masakan urang awak. Mie Saleh, Mie Aceh di kedai kayu yang nikmatnya menyebabkan air liur meleleh. Bahkan ketika saya menuliskan perjalanan ini di laptop, mulut saya tak henti mengucurkan cairan pelumas makanan di sela-sela gusi dan gigi. Dan, Daus, Nasi Goreng Khas Aceh. Orang Aceh punya keahlian tersendiri meracik nasi goreng, senangnya salah satu cabang Daus juga ada di Medan. Dekat rumah!. Beberapa surga kuliner yang saya temui juga memiliki rasa yang kalau saya kupas satu persatu, akan menghabiskan terlalu banyak kata. Secara random saya ulas salah satu diantaranya saja.

And many more.

Dekat dengan Bandara Sultan Iskandar Muda, sering dikunjungi stewardess a.k.a female flight attendant, maka rumah makan Adytia Jaya milik Pak Sofyan HS ini lantas menyandang nama populer ‘Ayam Pramugari’. Ratusan ekor ayam kampung beserta dedaunan yang digoreng garing berakhir di piring makan di tempat ini, per harinya. Selain Kari dan Gulai Kambing serta beberapa hidangan yang kalah populer dari sajian khas ayam tangkap Aceh ini. Saking dahsyat daya tariknya, rumah makan ini juga terkenal sebagai tempat makan para pejabat dan petinggi, selain turis domestik seperti kami ini. Rombongan kami harus merevisi pesanan berkali-kali tersebab pesanan yang rencananya akan dibawa dalam perjalanan, dihabiskan sembari menunggu pesanan berikutnya datang. Anak-anak pun tak henti-henti meminta tambahan kunyahan di tempat ini. Benar-benar tempat yang menerbitkan appetite para pemakan ayam kampung goreng.

Tanpa pramugari, hanya ayam goreng.

Kebun Kurma

Wah, untuk yang satu ini saya harus sampaikan salut. Walaupun pada saat kami tiba disini, kebun ini belum pernah panen dan terbukti berhasil, tapi mengalokasikan berhektar-hektar lahan untuk menanam pohon kurma di negara yang iklimnya tropis tulen, Indonesia, tentu bukan kegiatan yang bisa dipandang sebelah mata. Butuh nyali besar serta tekad baja untuk dapat mewujudkannya. Dan ini terjadi di Aceh. Berbuah pula. Ini buktinya!

Kurma.

Semoga berhasil.

Sedikit menanjak dari pintu masuk yang dibuka sendiri, ada bangunan bertingkat berbahan kayu yang sering dijadikan tempat berfoto para pengunjung. Jika anda lelah, tersedia pula beberapa kursi beserta meja yang dibuat menyerupai potongan semangka yang tidak ada peneduhnya. Sekiranya aspek perkebunannya tidak terpenuhi, entah buahnya tidak baik atau tidak memenuhi unsur ekonomisnya, saya pikir lahan seluas ini bisa bermanuver menjadi tempat wisata edukasi dengan tema utamanya, tentu saja, kurma.

Pohon Kurma.

Bukit Soeharto

Lepas dari persinggahan singkat di kebun kurma, rombongan kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Soeharto. Wisata panorama alam. Kemewahan visual yang lazim di Aceh ini. Di bukit yang dinamai sesuai dengan nama Presiden Indonesia yang lama menjabat ini terdapat puing bangunan bekas villa yang menurut penunggu tempat tersebut adalah villa yang sering dikunjungi Presiden Indonesia kala itu. Di bagian depan terlihat jajaran pohon yang diberi plakat beton bertuliskan nama pohon dan Menteri kabinet yang menanamnya serta beberapa informasi tambahan lainnya. Sayang bangunan utama telah hancur lebur tak bersisa, tergantikan pohon jamblang yang berdiri menjulang. Namun meriam jaman belanda yang diletakkan disini masih utuh terpajang, menyisakan kegagahan masa lalu sang Penguasa. Di bagian bawah meriam tertera, ‘Meriam th 1943, peninggalan Jepang di Gunung Momong, Lampuuk, Lhok Nga’.

Meriam Jepang 1943.

Pemandangan utama ke arah laut lepas adalah aktivitas di Pelabuhan Malahayati dan indahnya hamparan laut lepas yang normalnya banyak terdapat di kalender. Penduduk setempat yang menghuni lokasi pada saat itu ternyata sedang panen asam jawa. Rombongan kami ditawari untuk membeli asam jawa hasil panenannya dengan harga luar biasa murah. Tanpa timbangan, hanya takaran tangan. Saya malah tergiur melihat biji asam jawa yang terbentang berserakan rapi di atas tanah. Atraksi statis indah tersendiri bagi saya. Terhampar begitu saja.

Melintas.

Pantai Pasir Putih

Sebagai penutup, sebelum pulang, dijalan pulang, kami kembali mengunjungi Pantai Pasir Putih. Sesuai namanya. Pantai ini berpasir putih, benar-benar putih. Indah, betah berlama-lama disini. Bermain pasir, air dan menikmati pemandangan yang luar biasa menakjubkan.

Pantai Pasir Putih.

Ditemani Kopi.

Selesai, walaupun belum puas. Mau tidak mau rombongan kami harus segera meninggalkan tempat nan eksotis ini. Dan Aceh pun sah menjadi destinasi wisata favorit saya, kembali menorehkan kesan mendalam, terutama pantai-pantai elok nan terhampar laksana permadani pemanja mata. Yang bersih, putih, alami dan bebas dari eksploitasi berlebihan serta sampah wisata yang menyedihkan.

C Ya!

Ada potensi besar di sektor ini bila dikelola dengan baik dan tentu saja sekiranya manajemen pariwisata-nya dapat mempertimbangkan seluruh aspek, bukan hanya ekonomi dan mengabaikan aspek konservasi serta kearifan lokal yang menurut saya sangat layak di ‘jual’. Sangkil dan Mangkus adalah kata kunci-nya. Semoga awet seperti ini.

Its a wrap.

Sampai jumpa di roadtrip berikutnya. I’ll be back!.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: