The Story of Macheli.
Friday, May 19, 2017
Macheli.
Entah apapun artinya, adalah kata hasil karangan anak perempuan saya yang belum genap 4 tahun umurnya, sebagai nama kucing berkelir tiga warna yang pernah diselamatkan dari lantai 3 rumah tetangga di masa gadisnya.
Sejak itu ia jadi penunggu tetap teras depan rumah dan sering mendapat asupan sisa makanan atau makanan yang sengaja disisakan. Sempat dibuatkan kandang dari kardus air mineral, namun ia lebih memilih tumpukan sepatu yang lebih hangat sebagai tempat merebahkan badannya, atau jok sepeda motor untuk menghabiskan malam-malam dinginnya.
Hingga sekarang. Macheli memiliki dua anak yang dilahirkan di dalam kardus bekas kipas angin, Blang-II dan Blang-III.
Pagi tadi, ketika kami berangkat ke kantor istri. Di tengah perjalanan, sekitar 5 kilometer dari rumah, di kabin mobil terdengar suara anak kucing. Melalui kaca spion terlihat seekor anak kucing yang mirip sekali dengan Blang-II sedang kebingungan di tengah jalan, di belakang mobil, di tengah lalu lintas. Saya pun menepi. Tepat di depan Indomaret di sebelah Hotel Candi di daerah Darussalam – Medan – Indonesia. Saya yakin betul bahwa itu adalah Blang-II. Blang-II pun saya bawa masuk ke dalam mobil dan kami melanjutkan perjalanan mengantar istri ke kantornya, hingga pulang lagi ke rumah. Total waktu tempuh perjalanan pulang-pergi sekitar 1 jam 15 menit.
Tak habis pikir dengan aksi ekstrim si Blang-II, tidak jauh dari tempat saya berhenti tadi, di depan Masjid Al-Jihad saya sempat memeriksa kap mobil dan seputaran kolong untuk memastikan bahwa Blang-III tidak ikut menjadi penumpang gelap kami pagi itu.
Tiba di rumah. Takjub. Membayangkan petualangan dan situasi seperti apa yang dihadapi Blang-II, anak kucing yang bahkan jalannya belum kokoh tegak hingga dapat bertahan di kolong mobil dalam perjalanan sejauh itu, 5 KM tanpa terjatuh karena benturan atau panas, dan masih selamat ketika akhirnya terdampar di tengah lalu lintas pagi yang padat. Saya mengeluarkan Blang-II dari mobil dan Macheli segera menyambutnya.
Tapi Blang-III tidak terlihat. Kembali saya meyakinkan bahwa Blang-III tidak tersangkut di kolong mobil atau di kap.
Tidak ditemukan.
Beserta anak-anak yang antusias setelah mendengar kisah ‘Hitch-Hiking‘ Blang-II di mobil dalam perjalanan Bunda-nya barusan, kami kembali menyusuri rute yang dilewati ketika mengantar istri ke kantornya, mencari keberadaan Blang-III, memastikan semoga ia baik-baik saja.
Tidak ditemukan.
Bahkan sore hari, ketika menjemput istri pulang dari kantornya. Anak-anak kembali bersemangat untuk tetap kembali mencari. Perlahan kami menyusuri rute yang dilewati pagi tadi. Memastikan keberadaan Blang-III.
Tidak ditemukan.
Hingga pagi ini. Macheli masih terus mengeluarkan panggilan menyedihkan kepada Blang-III, anaknya.
Mencari. Mungkin masih belum paham apa yang terjadi. Blang-II juga mengeluarkan suara khas anak kucing yang sedang mencari. Mencari saudaranya. Lengking khas yang memilukan. Kehilangan.
Blang-III tidak ditemukan.
2 hari sebelum Ramadhan 1438 H, sesaat sebelum saya tiba di rumah, handphone saya berdering-dering, saya memutuskan untuk tidak menjawab dan berencana akan menelepon ulang, siapapun yang sedang berusaha menghubungi saya ketika itu. Tiba di rumah, kedua anak saya sedang menangis sejadi-jadinya. Menangisi jasad mengenaskan Blang II yang terbujur tragis di depan rumah, kemungkinan besar terlindas kendaraan yang melintas. Anak saya yang paling besar, masih memegang handphone di tangannya sembari terisak menghambur memeluk saya dan terbata-bata mengatakan bahwa Blang-II sudah mati.
Garis keturunan Macheli pun berhenti. Kembali sendiri lagi. Di teras depan rumah kami.